Sabtu, 20 Mei 2017

dialog dalam cermin





pada suatu pagi, aku sengaja memilih jalan memutar sebab-entah-kenapa, aku hanya ingin menyapa kawan lama yang dulu aku mengingatnya hanya setinggi pinggangku ketika pertama aku bertemu dengannya. sudah entah kapan aku terakhir melihatnya. kemudian teringat, dulu sekali saat tempatnya masih menjadi tanah kosong, aku dan nenek sering berjalan memutar sekedar menghabiskan waktu menunggu senja tenggelam. 

dulu, jalanan masih sepi, tempatnya juga masih serupa tanah kosong yang penuh dengan semak-semak.
sampai suatu hari, setelah sekian lama aku dan nenek kembali memilih jalan memutar, aku pertama kali melihatnya. tanah kosong bersemak itu sudah disulap menjadi tempat bangunan rapih dan dihiasi taman yang luas. disitu, aku pertamakali melihat tubuh rampingnya, berdiri didekat pagar yang kemudian melambai ramah kearahku. yang kemudian entah mengapa aku merasa semesta bukan tanpa alasan mengirimkannya untuk bertemu denganku.

sekarang sudah bertahun sejak saat itu, dulu aku masih sesekali lewat depan rumahnya sengaja hanya untuk melihatnya, disana ia selalu berdiri tepat di tempat pertama kali kami bertemu. bukan main, setiap aku melihatnya ia selalu lebih tinggi dari sebelelumnya, selalu semakin mempesona. namun sedikitpun dia tak congkak, masih selalu terlihat ramah dan ceria melambai lembut padaku. aku merasa malu sekarang sebab dulu sempat iri padanya. tapi dulu kita hanya anak-anak, begitu mudahnya perasaan iriku luntur oleh sebab senyum dan sapaannya.

hari ini, aku kembali ingin melihatnya, kakiku melangkah sedikit tidak sabar. aku yakin sekali tingginya sekarang sudah dua kali lipat tinggiku atau bahkan lebih. sudah terbayang betapa ia pasti sudah tumbuh jauh lebih mempesona. aku mempercepat lagkahku yang kemudian membawaku pada pagar tembok itu, benar apa perkiraanku! bahkan aku sekarang bisa melihatnya dari pagar samping. aku berlari kecil ke pagar depan rumahnya untuk melihatnya lebih jelas. senyumku melebar saat melihatnya dengan jelas, tapi aku merasa ia seperti tidak mengenaliku. yah.. memang aku 'agak' berubah dari sebelumnya.

tapi sepertinya memang ada yang berbeda dengannya, entah apa yang membuatku merasa ia tak memancarkan pesona seceria saat-saat kami masih belum mengenal malu. kemudian hari itu akulah yang menyapanya lebih dulu, meniru saat-saat dia melambai ramah kepadaku. untungnya ia masih mengenalku, aku memperhatikannya, padahal kini bunga-bunganya jauh lebih banyak dari dulu batangnya yang kokoh dan kuat menopang tubuhnya untuk terus bertumbuh tinggi. tapi tetap aku melihatnya tidak sama seperti yang ada di dalam imajiku. dia sekarang lebih seperti menyimpan malu, bersembunyi dibalik daun-daunnya sendiri.

kemudian setelah itu aku tau. dia bercerita, ia iri pada para Mawar, sebab warnanya yang cerah membuat para kupu-kupu selalu lebih tertarik dengan mereka. lalu ia iri pada para Melati sebab badan mereka mungil tapi mempunyai aroma harum yang kuat sehingga membuat para lebah tak urungnya jatuh cinta. juga pada lily sebab bunganya yang besar, tingginya yang tidak begitu menjulang dan batang mereka yang lembut membuat kumbang lebih memilih terbang didekat mereka. ia mengeluhkan batang kayunya yang keras yang tidak berhenti membuatnya tumbuh tinggi dan bunga-bunganya yang tak memiliki wangi. temanku, sang Kamboja , bersedih oleh sebab ia merasa tak semenarik bunga lainnya. 

aku merasakan kesedihannya, namun aku tak tahu harus menyampaikan apa, jadi aku hanya memberinya senyum dan memuji pesonanya sebagaimana aku merasa ia memang mempesona. kemudian aku berjalan pulang, aku mengambil jalan lurus melewati pagar depan rumahnya, samar-samar aku mendengar suara ribut yang datang dari sekelompok mawar. mereka meributkan betama mereka meresa iri pada temanku sebab mereka merasa angin pilih kasih kepadanya, hanya kepada Kamboja ia menghembuskan belaian lebih kencang karena Kamboja memiliki batang yang tinggi. juga tentang betapa mereka membenci diri mereka sebab memiliki duri dan ujung daun yang tajam.

aku mendengarkan gunjingan mereka, tapi aku memilih untuk tidak ikut campur. aku masih berjalan melewati pagar depan. kemudian aku tak jauh, mendengar Asoka sedang mengeluh, berharap mereka terlahir sebagai Teratai karena memiliki batang yang kuat walaupun hidup mengapung diatas air. mereka mengeluhkan batang-batang bunga mereka yang rapuh dan rontok ketika terkena tetesan hujan. aku memandangi Asoka yang kulihat tak berkurang kecantikannya walau beberapa bunga dari setiap gerombol-gerombolya ada yang rontok.

aku mulai tergelitik, ada yang harus diluruskan disini. semua bunga mengeluhkan bagaimana mereka merasa tidak lebih menarik dari bunga lainnya. sementara satu sama lain saling merasa iri karena merasa kekurangan.

 "aku harus menyampaikan ini pada Kamboja!" seru hatiku saat itu

kemudian aku berlari memutar arah kembali ke rumah Kamboja, yang tiba-tiba sebatang kaktus besar menyapaku. menanyaiku apa yang membuatku begitu terburu-buru. sebelum kuceritakan kuperhatikan  dia, daunnya yang tebal dan gundul, tak kulihat ada bunga satupun ditubuhnya. lalu dengan setengah sadar aku langsung menanyakan apakah ia tidak ingin menjadi bunga lain, yang setidaknya, lebih cantik. kemudian ia tertawa,

"untuk apa? agar para kupu-kupu dan lebah mendekatiku?" malah bertanya balik padaku

"aku tidak perlu memikat yang tidak tertarik padaku, aku cukup menunggu, aku yakin bungaku akan mekar pada saatnya dan saat itu akan ada kumbang yang datang padaku" jelasnya dengan yakin dan tenang

kemudian aku ceritakan tengtang bagaimana bunga-bunga saling merasa iri yang padahal mereka adalah masing-masing dengan pesonanya sendiri, dan tentang niatku untuk meyakinkan Kamboja, temanku, agar terlepas dari perasaan tidak memiliki pesona lagi. kemudian dengan mengejutkan Kaktus kembali tertawa, tapi yang lebih mengejutkan adalah ucapannya..

"memang kau pikir temanmu akan percaya?" tanyanya sarkas

aku menaikkan alisku heran 

"bukannya kalian manusia para wanita juga persis sama?"

sejak saat itu aku tidak pernah lagi bisa berbicara dengan temanku, serta bunga-bunga lainnya. mungkin saat ini, merekalah yang menjadi saksi betapa wanita mengeluhkan hal yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar