Sabtu, 22 Oktober 2016

Sekedar Bercerita

pertama-tama kalian harus tau ini ditulis di tempat publik sambil mendengarkan lagu Bimbang milik Melly Goeslaw. pada malam minggu yang sempat bingung harus dihabiskan dimana seusai meeting mengenai proyek baru yang akhirnya dipercayakan padaku. kemudian hanya aku, si hijau (begitu aku memanggil laptopku) yang aku sambungkan earphone ke telingaku, juga teh hijau yang aku pesan 20 menit yang lalu, hanya itu, karna donat gratis yang aku dapatkan dari event promosi sudah aku habiskan tepat setelah aku memilih tempat duduk. yang selanjutnya adalah pikiran-pikiran menyeruak dikepalaku. banyak. ada rindu juga disitu, ah, tapi  aku sedang malas membahas rindu. biar saja dulu lah. 

pelayan berlalu lalang, aku perhatikan satu dari tadi. kami hanya dibatasi dinding kaca, sedang asyik mengadon adonan roti. jarak kami tak sampai 10 meter. tapi kami ada di dua tempat yang sangat berbeda. dari tempatku duduk aku tak dapat mendengar apapun dari tempatnya. pun mungkin Ia. topi kokinya menjulang ke atas, celemeknya ada bekas noda di sudut-sudutnya, tangannya tak berhenti bergerak memutar, maju, mundur, sesekali Ia membanting adonan itu lalu mengulangnya seperti selama hidupnya ia hanya melakukan itu. aku penasaran, apa yang Ia pikirkan hingga begitu terlihat menikmati apa yang dilakukannya.

lalu terlintas dipikiranku; mungkin saja menjadi pengadon roti bukan cita-citanya.
mugkin saja. Ia masih muda, mungkin hanya 5-7 tahun diatas usiaku. belum sampai 30 sepertinya. mungkin saja dia lulusan Universitas Negeri jurusan teknik, tangannya cukup kekar, bukan tidak mungkin. atau bisa jadi ia lulusan jurusan hukum, fisip, atau mungkin ekonomi, kulitnya bersih, aku bisa membayangkan Ia memakai celana jeans dan kemeja, akan pas sekali di badannya.

"mba bisa dicabut dulu nggak?"

tanya seorang laki-laki tiba-tiba dari gerombolan yang duduk disebelahku, menunjuk ke arah charger laptopku.

"yah, ngga bisa mas, ini ngga ada baterai nya."

ucapku dengan nada seperti menyesal, padahal tidak. lalu laki-laki itu duduk kembali setelah meng-oh-kan jawabanku. sepertinya anak kuliahan, sedang berkumpul dengan teman-temannya. berisik sekali. aku dengar beberapa dari mereka berdebat mengenai aplikasi apa yang paling bagus untuk mengedit video. lalu mengenai teman mereka yang sedang liburan ke luar kota dan mendaki gunung-gunung, yang kemudian aku tak tertarik lagi mendengarkannya, mengingatkanku akan sesuatu.

lagu Melly goeslaw sudah lewat diganti beberapa lagu, sekarang lagu Cinta dan Rahasia yang dicover seseorang dengan versi Accoustic. mataku kembali lagi pada Sang pengadon Roti, sekarang Ia sedang mencetak adonannya membentuk bulatan-bulatan menyerupai donat.  3 loyang penuh sudah menumpuk di sebelahnya. aku nyaris terkesima. gesit sekali pekerjaannya.

masih, Ia bekerja di ruangan itu seperti sudah ditakdirkan untuk mendapatkan pekerjaan itu. sementara bisa saja, ia mendapatkan pekerjaan yang lebih baik (diusianya). Ia masih muda, tapi dipilihnya bekerja dibalik celemek dengan topi kokinya, sementara bisa saja ia pergi berkumpul dengan teman-temannya seperti yang dilakukan rombongan berisik yang ada di sebelahku.

kemudian aku teringat cerita yang tadi siang diceritakan senior dikantorku. usianya jauh diatasku sudah 34 atau 35 kalau tidak salah. sudah memiliki istri dan satu anak perempuan. Ia lulusan pertanian sama sepertiku. Ia pernah bekerja di satu perusahaan industri Internasional tingkat dunia, perusahaan dengan lambang satu induk burung dan dua anaknya disangkar. kalian carilah sendiri. kemudian entah karena alasan apa, tiba-tiba ia dipecat tepat sebulan sebelum pernikahannya. belakangan Ia baru mengetahui bahwa perusahaan itu memang tidak menerima lulusan dari Lampung. alasannya? masing-masing punya asumsi sendiri, pun kami berdua yang terlanjur memandang negatif karena kami adalah masyarakat Lampung. Seniorku bercerita betapa ia hampir gila saat itu. lalu dengan segala konspirasi semesta yang kadang tak sampai nalar manusia, kami dipertemukan di bidang yang jauh dari jurusan kami. hidup kadang selucu itu.

kemudian mataku kembali mencari Sang pengadon roti, aku memperhatikannya sedang memasukan loyang ke oven yang besarnya seperti lemari. sekarang aku memandangnya berbeda; mungkin memang, memang bukan menjadi pengadon roti cita-citanya. tapi tak sekalipun aku tak melihat ia tak menikmati pekerjaannya. kemudian aku melihat piring kosongku, donat yang aku makan tadi mungkin buatannya. lalu pandanganku meluas, aku melihat pengunjung lain duduk dan menikmati kudapan mereka. mereka menikmatinya. 

mungkin ketika kita dewasa, bukan lagi cita-cita yang berusaha kita capai, tapi kesempatan. dulu sekali, aku, mungkin kalian juga, pernah berpikir sukses adalah jalan yang mampu kita selesaikan dengan arah yang lurus. tapi kemudian seiring usia definisi sukses tidak se-imaji itu. segala sesuatu berusaha kita sederhanakan ketika kita mulai mengenal realita. melakukan apa yang kita cintai bukan hal yang sulit, tapi mencintai apa yang kita lakukan, butuh proses yang kadang diluar nalar manusia. biar saja, namanya juga manusia, nalar mereka berbatas. yang mengetahui kita adalah kita sendiri. betapa hidup selalu begitu lucu dengan berbagai kejutannya. apalagi yang bisa kita lakukan selain mencintai hidup kita sendiri. karena kesempatan hanya akan kita sadari keberadaannya ketika kita memiliki 'peraasaan cinta' pada apa yang kita jalani.

kudapati Sang pengadon roti sedang melipat celemeknya, sepertinya sift nya sudah selesai, lalu kuperhatikan lebih seksama Ia memakai kacamata. sungguh, siapa yang akan menyangka Ia seorang pengadon roti dengan penampilan seperti itu. lalu dari pintu samping Ia keluar dan melewatiku menuju pintu keluar. aku memperhatikan. Ia sesekali melihat jam ditanganya, mungkin sudah ada yang menunggu. Ia keluar menaiki motor matic yang tak lama kemudian ia gas pergi menghilang. 

pikiranku kembali meluas ke sekitar, kebanyakan keluarga atau orang-orang dewasa dengan penampilan rapih, ini tempat makan kelas menengah atas, tak heran isinya adalah orang-orang yang membayar mahal untuk secangkir kopi sekedar untuk berkumpul atau asyik dengan gadget mereka masing-masing. sungguh mana aku tahu pekerjaan mereka. tapi aku berani bertaruh. pasti tidak semua orang disini adalah orang-orang yang berhasil mencapai cita-cita mereka. namun mereka orang-orang yang telah mampu menangkap kesempatan-kesempatan dalam hidupnya karena mereka mencintai atau paling tidak berusaha mencintai apa yang mereka kerjakan.

9:13 malam, giliranku untuk pulang, 

"udah jam 9 mba, pulang"

kubaca pesan Watsapp yang dikirim ibuku. aku langsung bersiap-siap, aku belum mandi dari sejak pagi. lalu begitulah kuhabiskan malam mingguku bersama si hijau dan kursi kosong di hadapanku. besok-besok aku harap bukan dengan si hijau aku akan membahas berbagai macam konspirasi semesta pada malam minggu.




Selasa, 18 Oktober 2016

Kalau Saja

Kalau saja kamu jadi aku, belum tentu kamu kuat melewatinya.
Dan kalau saja aku jadi kamu, belum tentu aku kuat menjalankannya.

Kalau saja kamu jadi aku, belum tentu kamu sabar merasakannya.
Dan kalau saja aku jadi kamu, belum tentu aku bisa tahan didalamnya.

Kalau saja kamu jadi aku, belum tentu kamu bisa ikhlas menerimanya.
Dan kalau saja aku jadi kamu, belum tentu juga aku bisa rela melepaskannya.

Bahwasannya, keadilan dalam hidup telah Tuhan atur masing-masing batasnya.
Tak ada yang dilebihkan, tak ada yang dikurangi.
Adil bukanlah sama rata, Adil adalah tepat pada tempatnya.

Pada akhirnya semoga saja ini sudah tepat pada tempatnya,
sehingga tidak perlu ada lebih banyak lagi "kalau saja".
ah, sedih tidak kasat mata, pun bahagia, hati tidak akan ada yang tahu pasti.





-   ditulis saat gelap
    benar-benar gelap, oleh sebab lampu dikamar putus listriknya.




Jumat, 14 Oktober 2016

Tiga Bait Sajak pada Tiga Bait Babak

BABAK PERTAMA - Ternyata perjalanan adalah sebuah museum. suara musim hujan dari berabad silam membangunkan sebuah kota dari tidur panjangnya. Aku tersesat lagi di wajah-wajah yang asing - diorama pagi dengan catatan yang tak terbaca jelas.

BABAK KEDUA - Kotak kaca di ruang tengah: tungku yang membakar tubuhku. Tiba-tiba kata menjadi bara - Tiba-tiba kita menjadi tiada - Tidak ada Kalimat - Tidak ada yang selamat.

BABAK KETIGA - Waktu adalah penjara, ia memerangkap segalanya; yang pernah, lengkap dengan semua kemungkinan.

kemudian BABAK KEEMPAT adalah baris kosong. tidak ada sajak. kelak hanya akan kuisi pertanyaan; kau bahagia?