Kamis, 10 Januari 2019

a brave summary of two thousand and eighteen

Saya kira saya masih punya beberapa bulan lagi untuk menghilangkan rasa kaku saat menulis 2018, tapi teryata bumi sudah berputar satu revolusi penuh mengelilingi matahari. Bahkan sekarang saya harus membiasakan diri menulis numerik baru di ujung dijit angka tahun. Sudah tiga ratus enam puluh lima kali saya mengalami  rotasi bumi menukar siang dan malam, tiga ratus enam puluh lima kali menatap papar cahaya senja. Walaupun tidak setiap hari juga menatap senja. Saya bukan serupa penyair penyair yang hobi menyesap kopinya menikmati matahari perlahan habis tenggelam dilahap malam, terlebih lagi, saya bukan pengangguran. pernah ada hari-hari dimana saya setengah sebelas malam baru sampai depan pintu rumah. mana sempat lihat senja.

Dua ribu delapan belas, untuk saya, seperti arus arung jeram. deras, berbatu, banyak curug-curug mulai dari yang dangkal hingga yang terjal dan saya tidak bisa memilih untuk melewatinya atau tidak. tidak ada pilihan. itulah kenapa saya pilih perumpamaan arus arung jeram, bukan berlayar di lautan berombak, atau naik roller coaster, atau yang lainnya. sebab tidak ada kemudi, tidak ada sabuk pengaman, semua berjalan diluar dikendali saya. saya cuma memiliki modal: keberanian yang menjadi dayung dalam perjalanan dan iman yang menjadi pelampung saya. dan mungkin ditambah helm berupa kesabaran yang kelak melindungi kepala saya dari setiap goncangan-goncangan psikologis yang datang.

sebagai mana pengarung jeram, saya menghadapi jeram-jeram di jalur panjang yang akhirnya membawa saya pada hari ini. maka saya pikir tidak ada salahnya untuk berbagi cerita tentang salah satu jeram yang saya arungi di dua ribu delapan belas. semoga diantara kalian tidak ada yang mengalami jeram curam macam yang saya alami ini.


lima belas februari. saya pikir hari itu hanya salah satu hari-hari biasa. saya sudah rapi, sudah menyeduh teh, sebagaimana pagi-pagi saya yang lainnya. saya ingat terakhir saya menengok jam, sudah hampir jam delapan, segera saya ambil tas dan jaket, bersiap berangkat. dijalan sempat teringat di atas meja makan ada teh hangat yang belum sempat saya minum. 

saya menarik gas motor saya tidak lebih cepat dari biasanya, sayangnya tidak sebagaimana hari-hari biasa saya tidak sampai di kantor hari itu. gelap. saya mendengar beberapa orang berteriak, ramai. kemudian saya merasa aneh, saya tidak bisa menggerakkan tubuh saya bahkan satu gerakanpun. Dalam pikiran, saya merasa panik, saya ingin tahu apa yang terjadi, tapi kenapa begitu gelap dan kenapa tubuh saya tidak mengikuti perintah dari pikiran saya, kemudian perlahan saya merasa lelah, amat lelah. 

lalu tiba-tiba saya merasakan banyak tangan yang menyentuh tubuh saya, mungkin sepasang di kedua
ketiak lengan saya, dua di pergelangan kaki, dan rasanya beberapa di punggung belakang saya. Entah kenapa, tiba-tiba saya terbayang teh hangat di meja makan yang saya tinggal tadi. kemudian teringat bahwa saya harus sampai di kantor sebelum setengah sembilan.

kemudian entah bagaimana perlahan saya mendapatkan energi saya kembali. saya terbangun, saya menggerakan tubuh saya. tapi kenapa saya duduk di trotoar jalan? kenapa ramai sekali? saya menangkap beberapa pasang bola mata mengamati saya dengan aneh, belum pernah dalam hidup saya mendapatkan tatapan yang seperti itu.

kemudian saya menyadari ada yang aneh dalam mulut saya. saya bangun menggerakan tubuh saya, meludah ke sebelah kiri. darah kental keluar dari mulut saya, ada potongan daging aneh terasa di dalam mulut saya. barulah saya sadar ternyata jilbab saya sudah penuh darah. pagi itu roda motor saya beradu dengan roda belakan pengendara di depan saya. saya sempat lihat. dua pria bercelana pendek tak berhelm. beat warna merah. roda mereka menyeret roda depan saya ke kanan. saya jatoh ke kiri, dengan dagu mendarat lebih dulu. 

barulah rasa sakit menjalar keseluruh tubuh saya. saya tidak tau apa yang harus dipikirkan saat itu. ada banyak. Ibu, Ayah, kantor, rumah sakit mana saya akan di bawa. ada banyak yang saya ingin tanya dan katakan, tapi tubuh saya bukan milik saya rasanya hari itu. lidah saya robek 2/3 dari lebar keseluruhan, saya tidak tahu seperti apa bentuk wajah saya. saya bisa merasakan daging menjuntai dari dagu saya. terlalu ngilu untuk saya mengingat semuanya.

setelah itu saya hanya berusaha tidak memikirkan apa apa, saya hanya diam dan pasrah sambil memandangi lampu operasi. 3 perawat menangani saya, saya turuti semua perintahnya. kali pertama dalam hidup saya mendapatkan jahitan, saya langsung dapat di empat tempat berbeda. tapi dari semua bagian, yang paling berpengaruh terhadap psikologis saya kemudian adalah lidah.
belum pernah dengar lidah dijahit? sama, saya juga. 

tapi, yang paling berat justru adalah hari-hari setelahnya. betapa tertekannya psikologis saya hari-hari setelah itu. buat saya, itu masa-masa tergelap dan paling menakutkan. benang jahitan yang ditanam untuk menyambung bagian yang robek dalam mulut saya terasa seperti gumpalan kawat tajam tak beraturan yang ditanam didalam lidah. saya tidak bisa makan selama satu minggu kecuali jus buah yang harus di blender halus. cara makannya dengan memasukan sedotan ke mulut bagian samping hingga mencapai ke pangkal tenggorokan. butuh satu bulan untuk saya bisa kembali mencicipi nasi. entah berapa kali saya menangis dalam sehari membayangkan betapa sebelumnya hal kecil yang paling mudah seperti makan dan berbicara menjadi seperti hal yang terasa mustahil sekarang.

saya menangisi ketakutan saya, apa yang akan saya lakukan kalau hidup saya seperti ini selamanya. 

"apa ada oarang yang sebelumnya mengalami ini?"

"kalo nanti ngga bisa ngomong lagi, aku gimana?"

"mau jadi apa? gimana perasaan ibuku?"

pertanyaan-pertanyaan kelam bergema saling sahut satu dengan yang lain. kepala saya serasa diputar, kadang ingin mengumpat, tapi untuk membuka mulut saya saya setengah mati rasanya. tapi yang lebih sedih lagi, ketika kadang saya ingin mengucap istighfar dan berdoa pada Allah, mengadu pada yang maha kuasa tapi tidak bisa. kata-kata dalam pikiran saya terjebak tidak bisa saya keluarkan, membuat batin makin penuh sesak. akhirnya selalu hanya tangis tanpa suara yang membasahi pipi saya.

kalau kamu mau lihat bintang mana yang paling cerah bersinar di langit, datanglah ke ladang atau gurun gelap yang jauh dari lampu-lampu kota dan keramaian. dimasa gelap dalam hidup seperti inilah saya bisa lihat orang-orang yang hatinya memancarkan ketulusan pada saya. hanya setelah jatuh kedalam jeram yang menenggelamkan hampir semua energi positif dan kepercayaan diri yang susah payah saya bangun sepanjang hidup saya, saya kemudian bisa mengerti seperti apa saya disimpan dalam folder memori setiap orang yang saya kenal.

kamu akan terkejut dibuatnya. atau paling tidak seperti itu saya dibuatnya. orang yang kamu yakini selama ini perduli padamu bisa jadi hanya proyeksi ekspektasi dirimu sendiri. karena orang-orang ini tidak pernah menunjukkan diri mereka yang sesungguhnya, jadi kamu menciptakan fantasi seperti yang kamu harapkan. orang yang seperti ini akan datang padamu, menanyakan kabarmu, tapi justru menambah suasana berkabung dihatimu.

rasa kecewa terhadap kenyataan bahwa beberapa orang tidak memberikan dukungan yang seperti saya harapkan sempat membuat saya merasa tenggelam lebih dalam lagi dalam kesedihan. tapi disini jugalah, saya bisa lihat mereka yang benar benar berdiri mendukung saya, tidak hanya melihat luka saya dari perban yang membalut tubuh saya tapi lebih dari itu, mereka melihat luka yang lebih besar di dalam sana. memeluknya dengan hangat, mengeringkannya dengan cahaya ketulusan yang mereka berikan dari hati mereka.

orang-orang ini menumbuhkan rasa syukur dalam hati saya. sesuatu menjadi istimewa dan indah karena terbatas adanya. saya mulai memfokuskan energi saya untuk berhenti mengasihani diri saya sendiri. saya ingin bisa mengubah posisi berbaring atau bangun dari tempat tidur saya tanpa harus memanggil bantuan orang lain. saya ingin dapat mengangkat sendok dan mengunyah makanan kesukaan saya. saya ingin bisa membuka lemari memilih pakaian mana yang ingin saya pakai hari ini dan mengenakannya sendiri. saya ingin ikut menyanyikan lagu-lagu baru ketika diputar di tv atau playlist spotify sambil menggerakkan kedua tangan saya dengan bebas. namun lebih dari itu, saya ingin sembuh dan berterimakasih kepada orang-orang yang telah dengan tulus memberikan dukungan pada momen dimana saya paling membutuhkannya. saya ingin bisa bangun kedapur sendiri, menyeduhkan mereka teh, dan berbincang dengan mereka.

dengan cepat saya belajar bahwa memiliki pilihan adalah sebuah kemewahan dan andilnya besar untuk membuat kita bahagia. tiba-tiba kenangan seperti berbincang di meja makan dengan ayah ibu, atau berdebat dengan adik perempuan saya, tertawa lepas bersama sahabat-sahabat saya menjadi sebuah harta karun bagi saya. saya berjanji akan lebih mensyukuri dan menghargai rutinitas harian saya.

kabar baiknya, proses recovery saya berjalan sesuai perkiraan, bahkan sedikit lebih cepat. sekitar setelah dua minggu pulang pergi terapi, tangan kiri saya akhirnya perlahan mulai bisa digerakkan kembali. perlahan saya bisa sedikit-demi sedikit melakukan kegiatan tanpa orang lain walaupun  memakan waktu lebih dari dua kali lipat dari saat sperti saya normal dulu.


sekarang, sudah hampir setahun dari masa-masa kelam itu, saya sudah pulih walaupun beberapa bagian tidak bisa kembali seratus persen seperti saat saya normal. saya tidak bisa berlari terlalu lama atau lutut kiri saya akan terasa nyeri, saya tidak bisa lagi membuka kemasan dengan menggigit ujung kemasan saset seperti yang selalu saya lakukan dulu. benturan keras di dagu saya waktu itu sedikit merubah posisi rahang saya sehingga membuat gigi saya tidak sejajar sempurna. tapi sangat sedikit, sehingga orang hampir mustahil untuk menyadarinya. tentu saya bisa kembali bicara. hal yang paling melegakan dari selurug proses penyembuhan setahun ini. dan lagi, namun tidak sama seperti saya normal dulu.

benang jaitan saya menyatu dengan lidah, membuat lidah saya terasa lebih tebal. dan saya harus membawanya bersama sisa hidup saya. tapi daripada menyesalinya saya memilih untuk menjadikannya sebagai pengingat, betapa besar pentingnya bersyukur terhadap hal-hal yang bahkan kita pikir 'hanyalah' hal yang wajar. tahap akhir dari perkabungan adalah penerimaan. penerimaan bukan berarti rasa dukamu hilang, melainkan pemahaman dan kesadaran bahwa kamu akan membawa duka itu terus sepanjang hidupmu. dan menjadi bagian dari dirimu dimasa depan bahkan harus membuat kamu bersinar lebih terang dari sebelumnya.

saya yakin ada banyak orang diluar sana yang mengalami hal-hal lebih menyakitkan, melewati ruang-ruang yang jauh lebih gelap. dan saya sangat salut pada kalian yang bisa melewatinya. dan bagi teman-teman yang mungkin saat ini sedang membaca tulisan saya, semoga kalian tidak perlu mengalami apa yang saya alami untuk bisa menjadi orang yang lebih bersyukur.

dari sejak menghadapi jeram-jeram yang ada di tahun dua ribu delapan belas saya (termasuk ini salah satunya) saya berproses menjadi orang yang memiliki pikiran lebih terbuka. saya seperti dipertemukan kembali dengan diri saya delapan tahun lalu, dimana saya masih menjadi anak SMP, belum mengenal dunia dewasa yang kebahagiannya dihitung dengan angka. dan pada tahun itu juga saya memutuskan untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak berkontribusi apapun bagi kebahagiaan saya. melanjutkan dan berfokus pada apa yang saya miliki. dengan luar biasa, saya jadi merasa mengenal diri saya sendiri. dan lebih dari itu, menerima dan menyayangi diri saya sendiri.



dua hari yang lalu saya berdiskusi dengan dua teman dekat saya tentang apa-apa yang belakangan mereka lewati lewat grup whatsapp. kemudian salah satu dari mereka melempar pertanyaan yang membuat saya terfikir untuk membuat tulisan ini,

"lagi adem amat sih lo, ney, kayaknya hidupnya? :')"

karena tidak mungkin saya menjawabnya dengan semua yang saya sudah tulis di blog ini, maka saya putuskan dengan menjawabnya dengan haha hehe. saya tentu saja masih punya masalah, masih mengeluh kalau air yang saya isi untuk mandi dipakai orang dan saya harus menunggu lagi sampai bak penuh. saya tetap dengan emosi me-report/suspend twitter orang-orang yang suka menyebar hatefull tweet terutama tentang idola saya. saya masih insecure terutama kalau sedang bokek. tapi saya hanya memutuskan untuk lebih menikmati hidup saya. bukan karena pencapaian-pencapaian yang telah saya miliki, melainkan karena saya masih bisa memencet tombol starter pada marwan motor saya. memakai kaus kaki yang baru habis dicuci dan membuat telur dadar di hari minggu pagi. nonton national geographic dan cartoon network bersama ayah saya, serta menyaksikan kucing saya menggaruk telinga dengan cakarnya.


apapun yang kamu kerjakan hari ini, terimakasih sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita panjang saya. semoga cerita saya tidak sekedar membuang sia waktumu dan ada hal baik yang bisa merubah cara pandangmu pada hidup. atau paling tidak semoga bisa sedikit menghangatkan harimu. kunjungi lagi saya di lain waktu kalau kamu mau. akan saya bawakan cerita lainnya atau bawakan pada saya ceritamu, saya akan dengan senang hati membacanya..





with love,
ney.

Rabu, 19 September 2018

ruang temu

belakangan, saya jadi orang yang 1000 kali lebih gampang cringe, walaupun memang biasanya tipikal yang terkesan 'anteng'. entah apa yang buat saya jadi lebih sensitif dengan hal begitu. saya yang biasanya punya pikiran melankolis dan (sedikit) lihai mengolah sastra jadi sajak-sajak puitis, sekarang cuma baca twit orang melow dikit langsung refleks ngerutin dahi, geli. saya sendiri juga heran dengan saya yang sekarang lebih pilih baca komik Miiko ketimbang novel-novel Boy Candra atau Fiersa Besari.

buku romansa terakhir yang saya baca milik Brian Khrisna 'The Book of Almost' dan ngga selesai. Tapi kalau yang ini, saya ngga tahu, tidak selesai karena saya cringe bacanya atau memang ngga sanggup menyelesaikannya. Yang satu ini sedikit lain, saya punya kekaguman tersediri dengan Brian Khrisna. dia punya kemampuan membuat tulisannya indah tapi tetap terasa nyata. terutama, buku ini semua isinya tentang pengalaman terluka, cara Brian yang apik meminjamkan panca indra kepada pembacanya membuat saya seolah hidup sebagai Brian dan merasakan luka itu nyata disetiap sajak di sana. dibelakang itu, saya baca buku 'The Book of Almost' juga sehabis 'experience of almost' saya sendiri.

saya jadi lebih rajin baca tulisan Windy Ariestanty yang notabene adalah narasi perjalanan. membuat saya bahagia dan memberikan efek seolah-olah saya ikut berjalan-jalan. jadi punya pikiran lebih luas, yang kemudian membuat saya seolah tidak tertarik lagi dengan dunia sastra. saya benar-benar tidak menyentuh blog, tumblr, atau media tulis saya lainnya yang biasanya tempat mencurahkan sekedar sisi melankolis saya.
sebenarnya, saya masih menulis sesekali, hasrat saya mengeluarkan keresahan-keresahan dengan puisi dan sajak masih disana, walaupun saya merasakan gaya tulisan saya sekarang sedikit berbeda. yang paling berubah, saat ini saya jauh lebih selektif, mana yang sebaiknya di publish mana yang tidak, terlalu selektif malah, yang akhirnya membuat semua yang saya tulis berujung di file draft. seperti itu, terus berulang.

saya mulai masuk pada usia lebih awas terhadap apa yang saya lakukan. lebih memilih hal-hal sederhana dan efisien. begitu pula dalam hal menulis, ketimbang kalimat mengeluh (menye menye kalau kata saya), sekarang lebih memilih menulis dan membaca hal-hal yang bikin saya bahagia dan (lebih bagus) kalau bisa memberikan manfaat. saya jadi banyak memikirkan tentang diri sendiri, apa yang sebenarnya saya ingin gapai, apa yang sudah saya capai selama ini, ternyata selama ini saya belum cukup mengenal diri sendiri.

tapi apa yang membuat saya kehilangan sense menulis?

berbulan-bulan saya mengalaminya. seingat saya, dulu saya (lumayan) terkenal karena sajak-sajak di sosial media hasil postingan saya, tapi sekarang baru menulis kata 'aku' bahu saya sudah bergidik geli. lucu memang, tapi rasanya juga tidak sehat. sedikit banyak saya merasa 'kehilangan' kemampuan. jadi saya mensiasati diri sendiri dengan membaca sajak dan puisi dalam bahasa inggris, favorit saya adalah puisi-puisi milik Lang Leave dan R.H Shin. cukup bekerja, ternyata saya masih cinta dengan seni sastra.

hari ini, setelah selesai membaca buku Gita Savitri ada hal yang menyentil saya. setelah saya ingat-ingat, yang saya lakukan selama ini belum sepenuhnya menulis. saya lebih sering menjadikan tulisan sebagai pelampiasan. saya membiarkan perasaan memonopoli tulisan saya. Naksir dengan si A, sakit hati dengan si B, atau rindu dengan C. hanya ketika saya merasakan hal-hal seperti itu saya kemudian menulis. dalam dunia menulis tentu itu bukan suatu hal yang tidak dibenarkan. ide bisa datang dari mana saja, bukan? toh banyak penulis-penulis yang terkenal dari hasil curhat pengalaman pribadinya. iya, tapi tidak dengan saya.

Penulis yang merdeka adalah penulis yang bisa menulis dalam situasi apapun, persaan seperti apapun, sesibuk apapun.


itu yang dikatakan Gita Savitri dibukunya. saya jadi teringat, J.K Rowling bahkan menulis  beberapa naskah Harry Potter di dalam bathub sambil mandi, Paulo Coelho kebanyakan menyelesaikan bukunya dalam kereta saat perjalanan, Barbara Kingsolver menulis buku pertamanya saat baru pulang dari rumah sakit sehabis melahirkan, dan menyelesaikannya ditengah aktivitas sebagai ibu muda. selama ini saya sama sekali belum menjadi penulis yang merdeka. saya menulis sebagai bentuk teriakan agar orang-orang tahu perasaan saya, atau lebih parah, saya menulis dengan harapan orang yang saya tulis membaca tulisan saya.

dan ketika saya masuk ke usia dimana kewarasan sedikit demi sedikit mengikis ego, saya merasa mulai kehilangan ide karena satu persatu drama yang saya buat sendiri mulai saya tamatkan. itulah penyebabnya.

saya meyakini bahwa saya harus menikmati tahap demi tahap quarter life crisis yang saya alami, tanpa harus merasa kehabisan waktu. toh, hidup ini bukan ajang kompetisi. sejak kecil saya bukan orang yang berambisi dengan predikat juara, disamping karena bawaan introvert saya yang tidak suka menjadi sorotan perhatian, juga saya rasa setiap orang boleh punya cara sendiri untuk memaknai kehidupan.

saya pinjam kata-kata penulis favorit saya: saya ingin menjadikan menulis sebagai sebuah ruang temu. saya percaya ada hal-hal yang datang kepada kita untuk mengingatkan soal nilai-nilai yang kita yakini. saya membuat blog untuk belajar menulis, untuk memperpanjang ingatan saya, juga untuk mengingatkan saya soal kesenangan selagi menulis.

blog adalah ruang temu yang saya ciptakan untuk diri saya sendiri. saya izinkan yang lain melongok, melihat saya berproses dan bergumul dengan kedirian saya. saya menulis apa yang saya gelisahkan, juga apa yang saya sukai. ini ruang temu yang terbuka. kunjungi saya sewaktu-waktu bila kalian ingin, tanpa ada sisipan, sebagaimana seorang kawan (kurang) akrab datang tanpa saya mencurigai ia sedang melebarkan jaring mlm-nya.

Selasa, 07 Agustus 2018

Kutub Kembar

kita pasti selalu memiliki teman, yang sangking akrabnya sudah seperti dua kutub magnet kembar; tolak menolak


“jar, lo dimana?” suaraku tersenggal. “di warnet, ney. Kenapa?”

Fajar satu-satuya yang mengangkat panggilanku diantara tiga yang lain. 

Malam itu hampir pukul sepuluh, angin di luar Gedung Rumah Sakit lumayan deras. Aku lima belas tahun, Fajar enam belas. Tidak perlu bilang dua kali, Fajar datang dengan motor Supra X kebanggaanya seperti dikejar setan. Rambutnya yang kribo mengembang begitu helm dilepaskan. Menghampiriku yang celingak-celinguk. Isi kepalaku cuma ada ruang ICU.

“Sori ya, jar. Cuma lo yang ngangkat telpon”. Ucapku dengan nada menyesal sungguhan.

“selow si brut- (panggilan akrab kami), kaya sama siapa aja” kau bilang waktu itu.

“bawanya pelan aja, brut” ucapku santai, kali ini aku bohong. Aku tidak ingin fajar dikejar perasaan panik.

“iya, brut” katanya, juga berbohong, Ingin membuatku merasa tenang.

Aku mantap duduk di atas motornya, hanya satu detik kemudian motornya melesat hingga 110km/jam. Tidak ada satupun dari kami yang tidak panik malam itu. Malam itu aku lima belas tahun, Fajar enam belas. Membelah jalan raya, hampir menabrak truk kuning yang parkir di bahu jalan. Menempuh belasan kilometer menuju rumahku hanya untuk menghidupkan lampu dan mengunci pintu gerbang. Kemudian kembali mengantarku ke Rumah Sakit. 

Tidak sampai dua puluh menit, kami sudah sampai lagi di Rumah Sakit. Kami berjalan cepat sambil membawa dua gembolan, yang satu isi pakaian yang satu selimut.

“makasi ya brut!” ucapku lega. 

Setengah sebelas lewat sudah, kusuruh Fajar langsung pulang kerumahnya. Besok harus kutraktir si Fajar di kantin Bi Yuli, ucapku dalam batin. Besoknya, aku tidak mentraktir Fajar. Aku bukan lupa, apalagi berbohong. Aku tidak masuk sekolah.

Malam itu, tepat setelah berbalik badan melambaikan tangan pada Fajar, Ayah sudah menunggu, Raut wajahnya cemas tapi juga seperti orang yang ikhlas

“Nenek sudah ngga ada, mba” rasanya desingan peluru melintas di samping telingaku.

Nyawaku masih tertinggal di atas laju pesat motor Fajar dengan perasaan semangat dan tidak sabar.. karna malam itu kupikir akhirnya aku berhasil mematahkan alasan Ayah untuk pulang dan menginap di rumah sakit menemani nenek yang sejak kemarin malam dipindah ke  ICU setelah tiba-tiba dua hari tidak siuman. Yang pada akhirnya, berkat bantuan Fajar, aku benar menemani nenekku malam itu. Menemani jasadnya untuk terakhir kali.

“Ikhlas, ney. Allah lebih sayang nenek lo” begitu Fajar balas pesanku malam itu.

September 2011. Usiaku lima belas tahun, Fajar enam belas. Aku merasakan Fajar sudah paham memilah mana yang baik untuk dibicarakan mana yang tidak sejak Ia memilih untuk tidak lagi meledekku dengan “cucu nenek, kecup, kecup, kecup” seperti Patrick kalau sedang meledek Spongebob setiap kali aku tidak ikut main dengan teman-teman di hari Minggu, demi menjaga perasaan kawannya.

Tujuh tahun lalu, Saat usiaku baru lima belas tahun, Fajar enam belas. Nalarku mulai belajar bahwa tuhan juga memberikan makhluknya rejeki berupa kawan yang baik.

Hari ini, 7 Agustus 2018, Fajar dua puluh tiga tahun aku dua puluh dua. Dari 18429012 bantuanmu ini yang paling depan di barisan memoriku. masih kau ingat momen ini, jar?

Walaupun sudah lewat satu minggu, tapi, Selamat Ulang Tahun, Jar! Tadinya Aku berniat posting tulisan ini di Instagram tepat hari ulang tahunmu tapi karna rasanya terlalu cringe kalo dilihat banyak orang maka kuurungkan niatku, Haha. Jadilah setelah berhari-hari tertumpuk di dalam folder dokumen bersama draft tulisanku yang lain, kuputuskan untuk kuposting di blog pribadi karna pasti bahkan Kau sendiri pasti tidak baca-kalau tak kuberi tahu- apalagi orang lain.

Semoga segera kau jadi orang sukses, bandari kita semua makan di restoran macam Paciffic Place setiap minggu. Supaya jangan ke tempat Agung terus kalau kumpul, malu dengan Ibunya- makanannya kita yang habiskan. Kuberi kau satu saran supaya kolesterol tinggimu berkurang: jangan marah-marak kalau kita janjian dan kau datang paling duluan, salah kau sendiri, semacam baru kenal tiga minggu. Jangan bosan dulu kau kurepotkan, Belum dapat jodoh aku. Mhahahahaha




XOXO
ney







Sabtu, 09 Desember 2017

1 tahun 4 bulan 7 hari

aku tidak lelah menunggu, tidak lelah berharap
hanya terkadang aku bingsal tidak berada didekatmu
sebab kamu malu-malu -aku kadang terburu-buru
rasanya ku ingin tarik lengan bajumu
bertanya untuk siapa itu, tiap kau tulis sajak manis
aku tidak lelah menunggu, tidak lelah menduga-duga
hanya kadang aku bingsal tidak bisa menggenggam tanganmu
tapi memangnya, kalau dekat aku berani pegang tanganmu?


sekian
tidak panjang-panjang
sebab ditulis dikantor



Rabu, 08 November 2017

NAIVE

I want
live this life as a naive
see everything as a delightfull things
think possitively
to whatever we through or
whoever we met
feel happy to every simple things
even when hard thing comes as it
would break a whole I had, I
just remain that was a bad day
not a bad life
but life
never let me be
or simply, i never let me be
'cause i was.
and it left me an undescribable scar.

Sabtu, 20 Mei 2017

dialog dalam cermin





pada suatu pagi, aku sengaja memilih jalan memutar sebab-entah-kenapa, aku hanya ingin menyapa kawan lama yang dulu aku mengingatnya hanya setinggi pinggangku ketika pertama aku bertemu dengannya. sudah entah kapan aku terakhir melihatnya. kemudian teringat, dulu sekali saat tempatnya masih menjadi tanah kosong, aku dan nenek sering berjalan memutar sekedar menghabiskan waktu menunggu senja tenggelam. 

dulu, jalanan masih sepi, tempatnya juga masih serupa tanah kosong yang penuh dengan semak-semak.
sampai suatu hari, setelah sekian lama aku dan nenek kembali memilih jalan memutar, aku pertama kali melihatnya. tanah kosong bersemak itu sudah disulap menjadi tempat bangunan rapih dan dihiasi taman yang luas. disitu, aku pertamakali melihat tubuh rampingnya, berdiri didekat pagar yang kemudian melambai ramah kearahku. yang kemudian entah mengapa aku merasa semesta bukan tanpa alasan mengirimkannya untuk bertemu denganku.

sekarang sudah bertahun sejak saat itu, dulu aku masih sesekali lewat depan rumahnya sengaja hanya untuk melihatnya, disana ia selalu berdiri tepat di tempat pertama kali kami bertemu. bukan main, setiap aku melihatnya ia selalu lebih tinggi dari sebelelumnya, selalu semakin mempesona. namun sedikitpun dia tak congkak, masih selalu terlihat ramah dan ceria melambai lembut padaku. aku merasa malu sekarang sebab dulu sempat iri padanya. tapi dulu kita hanya anak-anak, begitu mudahnya perasaan iriku luntur oleh sebab senyum dan sapaannya.

hari ini, aku kembali ingin melihatnya, kakiku melangkah sedikit tidak sabar. aku yakin sekali tingginya sekarang sudah dua kali lipat tinggiku atau bahkan lebih. sudah terbayang betapa ia pasti sudah tumbuh jauh lebih mempesona. aku mempercepat lagkahku yang kemudian membawaku pada pagar tembok itu, benar apa perkiraanku! bahkan aku sekarang bisa melihatnya dari pagar samping. aku berlari kecil ke pagar depan rumahnya untuk melihatnya lebih jelas. senyumku melebar saat melihatnya dengan jelas, tapi aku merasa ia seperti tidak mengenaliku. yah.. memang aku 'agak' berubah dari sebelumnya.

tapi sepertinya memang ada yang berbeda dengannya, entah apa yang membuatku merasa ia tak memancarkan pesona seceria saat-saat kami masih belum mengenal malu. kemudian hari itu akulah yang menyapanya lebih dulu, meniru saat-saat dia melambai ramah kepadaku. untungnya ia masih mengenalku, aku memperhatikannya, padahal kini bunga-bunganya jauh lebih banyak dari dulu batangnya yang kokoh dan kuat menopang tubuhnya untuk terus bertumbuh tinggi. tapi tetap aku melihatnya tidak sama seperti yang ada di dalam imajiku. dia sekarang lebih seperti menyimpan malu, bersembunyi dibalik daun-daunnya sendiri.

kemudian setelah itu aku tau. dia bercerita, ia iri pada para Mawar, sebab warnanya yang cerah membuat para kupu-kupu selalu lebih tertarik dengan mereka. lalu ia iri pada para Melati sebab badan mereka mungil tapi mempunyai aroma harum yang kuat sehingga membuat para lebah tak urungnya jatuh cinta. juga pada lily sebab bunganya yang besar, tingginya yang tidak begitu menjulang dan batang mereka yang lembut membuat kumbang lebih memilih terbang didekat mereka. ia mengeluhkan batang kayunya yang keras yang tidak berhenti membuatnya tumbuh tinggi dan bunga-bunganya yang tak memiliki wangi. temanku, sang Kamboja , bersedih oleh sebab ia merasa tak semenarik bunga lainnya. 

aku merasakan kesedihannya, namun aku tak tahu harus menyampaikan apa, jadi aku hanya memberinya senyum dan memuji pesonanya sebagaimana aku merasa ia memang mempesona. kemudian aku berjalan pulang, aku mengambil jalan lurus melewati pagar depan rumahnya, samar-samar aku mendengar suara ribut yang datang dari sekelompok mawar. mereka meributkan betama mereka meresa iri pada temanku sebab mereka merasa angin pilih kasih kepadanya, hanya kepada Kamboja ia menghembuskan belaian lebih kencang karena Kamboja memiliki batang yang tinggi. juga tentang betapa mereka membenci diri mereka sebab memiliki duri dan ujung daun yang tajam.

aku mendengarkan gunjingan mereka, tapi aku memilih untuk tidak ikut campur. aku masih berjalan melewati pagar depan. kemudian aku tak jauh, mendengar Asoka sedang mengeluh, berharap mereka terlahir sebagai Teratai karena memiliki batang yang kuat walaupun hidup mengapung diatas air. mereka mengeluhkan batang-batang bunga mereka yang rapuh dan rontok ketika terkena tetesan hujan. aku memandangi Asoka yang kulihat tak berkurang kecantikannya walau beberapa bunga dari setiap gerombol-gerombolya ada yang rontok.

aku mulai tergelitik, ada yang harus diluruskan disini. semua bunga mengeluhkan bagaimana mereka merasa tidak lebih menarik dari bunga lainnya. sementara satu sama lain saling merasa iri karena merasa kekurangan.

 "aku harus menyampaikan ini pada Kamboja!" seru hatiku saat itu

kemudian aku berlari memutar arah kembali ke rumah Kamboja, yang tiba-tiba sebatang kaktus besar menyapaku. menanyaiku apa yang membuatku begitu terburu-buru. sebelum kuceritakan kuperhatikan  dia, daunnya yang tebal dan gundul, tak kulihat ada bunga satupun ditubuhnya. lalu dengan setengah sadar aku langsung menanyakan apakah ia tidak ingin menjadi bunga lain, yang setidaknya, lebih cantik. kemudian ia tertawa,

"untuk apa? agar para kupu-kupu dan lebah mendekatiku?" malah bertanya balik padaku

"aku tidak perlu memikat yang tidak tertarik padaku, aku cukup menunggu, aku yakin bungaku akan mekar pada saatnya dan saat itu akan ada kumbang yang datang padaku" jelasnya dengan yakin dan tenang

kemudian aku ceritakan tengtang bagaimana bunga-bunga saling merasa iri yang padahal mereka adalah masing-masing dengan pesonanya sendiri, dan tentang niatku untuk meyakinkan Kamboja, temanku, agar terlepas dari perasaan tidak memiliki pesona lagi. kemudian dengan mengejutkan Kaktus kembali tertawa, tapi yang lebih mengejutkan adalah ucapannya..

"memang kau pikir temanmu akan percaya?" tanyanya sarkas

aku menaikkan alisku heran 

"bukannya kalian manusia para wanita juga persis sama?"

sejak saat itu aku tidak pernah lagi bisa berbicara dengan temanku, serta bunga-bunga lainnya. mungkin saat ini, merekalah yang menjadi saksi betapa wanita mengeluhkan hal yang sama.

Senin, 01 Mei 2017

Catatan November Kemarin

oh, hai!

lama tidak menggerakkan jemari di kolom entri blog ini. sebelum tulisan ini, sebenarnya ada beberapa tulisan yang aku buat. tapi belakangan ini memutuskan mana tulisan yang harus di publis mana yang disimpan menjadi persoalan yang perlu dipertimbangkan rasanya. jadilah mereka hanya terismpan di barisan draft. tapi yang ini aku rasa tidak masalah, hanya akan ada beberapa cerita yang ingin aku ceritakan.

tulisan yang aku tulis terakhir adalah tentang bagaimana aku menghabiskan malam minggu yang sepi damai disebuah tempat makan bersama si hijau kesayanganku. pada akhir paragraf aku menuliskan harapan..

"semoga selanjutnya bukan dengan si hijau aku menghabiskan malam minggu...."

dan itu sungguh terjadi.
aku benar-benar tidak pernah lagi menghabiskan malam minggu dengan si hijau. bukan hanya malam minggu, malam senin, malam selasa, semua malam. bahkan siang haripun. Si hijau hilang.
hilang, benar-benar hilang secara harfiah. benar-benar singkat. takkan kuceritakan secara detail, buat apa mengungkit yang sudah hilang. aku berusaha ikhlas.

sempat terlintas pemikiran kekanakan:

bahkan si hijau pun malas menghabiskan malam minggu bersamaku, dan memilih pergi..

ya namanya juga orang berduka, yang tidak masuk akal saja kadang bisa dia percaya. aku hanya masih terluka. ah, padahal tadinya bukan ingin menulis tulisan cengeng begini.
yasudah, mungkin sudah selesai misi si hijau untung menolong dan menemaniku, mungkin dia pulang ke pelanetnya berkumpul dengan keluarganya. akan aku buat pemikiran seperti itu.

kemudian, setelah kepergian si hijau. banyak kerepotan-kerepotan yang harus aku hadapi sebab tidak ada partner yang memediai semua pekerjaan. pinjam sana pinjam sini. dari belum lagi kita harus sabar menunggu yang mau kita pinjami dengan sabar, menunggu pekerjaannya selesai dulu baru kita bisa pakai. yah.. namanya juga pinjam.

dari kejadian ini aku jadi punya pemikiran, mungkin kemarin aku kurang bersyukur. bukan kemarin-kemarin aku tidak senang punya si Hijau, hanya kadang terlintas ingin yang baru. perihal tidak bersyukur, manusia memang selalu seperti itu bukan? ah aku yakin aku bukan satu-satunya manusia yang merasa menyesal setelah kehilangan.

aku jadi teringat 4 skenario yang pernah kubaca di blog seseorang sebelum ini, ada 'sesuatu' yang ingin kubagi tentang skenario ini, sebab, sungguh, sudah kurasakan sendiri..


Skenario 1

andaikan kita sedang naik kereta ekonomi. kita tidak kebagian tempat duduk dan akhirnya kita berdiri di gerbong tersebut. suasana cukup ramai meskipun masih ada ruang untuk kita menggoyang-goyangkan kaki. kita tidak menyadari handphone kita terjatuh. ada orang yang melihatnya, memungutnya dan langsung mengembalikannya pada kita.
"pak, handphone bapak barusan jatuh", kata orang tersebut seraya mengembalikan handphone kepada kita. apa yang akan kita lakukan kepada orang tersebut? Mungkin kita akan mengucapkan terimakasih dan berlalu begitu saja.

Skenario 2

handphone kita terjatuh dan ada orang yang melihat dan memungutnya. orang itu tahu handphone itu milik kita tapi tidak langsung mengembalikannya.hingga tiba saatnya kita akan turun dari kereta, kita baru menyadari handphone kita hilang. sesaat sebelum turun dari kereta, orang itu mengembalikan handphone kita sambil berkata, 
"pak, handphone bapak tadi jatuh", apa yang akan kita lakukan kepada orang tersebut? mungkin kita akan mengucapkan terimakasih juga kepada orang tersebut. rasa terimakasih kita bisa jadi lebih besar daripada yang kita berikan kepada orang di skenario pertama (orang yang langsung memberikan handphone kepada kita). setelah itu mungkin kita akan langsung turun dari kereta.

Skenario 3

pada skenario ini, kita tidak sadar handphonekita terjatuh, hingga kita menyadari handphone kita tidak lagi ada di dalam kantong saat turun dari kereta. kitapun panik dan segera menelpon ke nomor handphone kita, berharap ada orang baik yang menemukan handphone kita dan bersedia mengembalikannya kepada kita. orang yang sejak tadi menemukan handphone kita (namun tidak langsung mengembalikan handphone tersebut) menjawab telpon kita.
"halo, selamat siang pak. saya pemilik handphone yang ada pada bapak sekarang", kita mencoba bicara kepada orang yang sangat kita harapkan berbaik hati memberikan handphone itu kembali kepada kita. orang yang menemukan handphone tadi berkata,
"oh, ini handphone bapak? oke nanti saya akan turun di stasiun berikut. biar bapak ambil disanan nanti ya.".
dengan sedikit rasa lega dan penuh harapan kitapun pergi ke stasiun berikut dan menemui "orang baik"  tersebut. orang itupun mengembalikan handphone kita yang telah hilang. apa yang kita lakukan kepada orang tersebut? satu hal yang pasti, kita akan mengucapkan terimakasih dan sepertinya akan lebih besar daripada rasa terimakasih kita pada skenario dua, bukan? bukan tidak mungkin kali ini kita akan memberikan hadiah kecil kepada orang yang menemukan handphone kita tersebut.

Skenario 4

kali ini, kita tidak tersadar kalau handphone kita terjatuh, kita turun dari kereta dan menyadari handphone kita telah hilang, kita mencoba menelpon tapi tidak ada yang mengangkat. sampai akhirnya kita tiba di rumah. malam harinya kita mencoba mengirimkan pesan,:
"Bapak/Ibu yang budiman, saya adalah pemilik handphone yang ada pada bapak/ibu sekarang. saya sangat mengharapkan kebaikan bapak/ibu untuk dapat mengembalikan handphone itu kepada saya."
pesanpun dikirim dan tidak ada balasan. kita sudah putus asa. kita mengingat betapa banyaknya data penting yang ada di handphone itu. ada banyak kontak teman kita yang ikut hilang bersamanya. hingga akhirnya beberapa hari kemudian, orang yang menemukan handphone kita menjawab pesan kita, dan mengajak bertemu untuk mengembalikan handphone kita. Apa yang akan kita berikan kepada orang tersebut? kita pasti akan mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya, dan mungkin kita akan memberikannya hadiah (yang kemungkinan besar lebih berharga daripada yang kita berikan di skenario tiga).


ada hal "aneh" disini. coba pikirkan, siapakah orang yang paling paling baik di antara empat skenario tersebut? tentunya yang menemukan dan langsung memberikan handphone kita, bukan? dia adalah orang pada skenario pertama. namun ironisnya, dialah yang menerima reward paling sedikit diantara empat orang di atas. sementara orang yang paling lama mengembalikan handphone itu kepada kita malah kita berikan reward paling besar. kenapa? sudah kubilang, perkara manusia..

"merasa memiliki, saat kita telah kehilangan"


rasa kehilangan yang kita alami semakin bertambah di setiap skenario. pun pada skenario perihal perasan. ada kala kita mengabaikan yang kita miliki, merasa dia akan kembali lagi sebab seperti itulah 'seharusnya' menurut kita. kemudian dia menghilang dan sedikit lebih jauh, namun masih bisa kita gapai, kita belum melakukan apa-apa, lebih jauh, lebih jauh lagi hingga sebelum sempat kita sadari dia jarak sudah terlalu jauh memisahkan. beberapa orang, akan menyangkal bahwa ia merasa kehilangan. namun BUKAN berarti di tidak merasakannya. kehilagan, adalah masa yang berada tepat ketika kita mulai merasa terbiasa tanpa perasaan bersyukur. kehilangan selalu datang bersama keresahan dan harapan untuk mendapatkannya kembali, yang barulah mengajari kita artinya menghargai. sebab beberapa dari kita baru merasa memiliki, saat setelah kehilangan.



ditulis November 2016



catatan: baru dipublish setelah lama menjadi draft dan diedit ulang. tulisan yang sedikit cengeng tapi, hey, senang bisa kembali menulis.

- N :)