Rabu, 19 September 2018

ruang temu

belakangan, saya jadi orang yang 1000 kali lebih gampang cringe, walaupun memang biasanya tipikal yang terkesan 'anteng'. entah apa yang buat saya jadi lebih sensitif dengan hal begitu. saya yang biasanya punya pikiran melankolis dan (sedikit) lihai mengolah sastra jadi sajak-sajak puitis, sekarang cuma baca twit orang melow dikit langsung refleks ngerutin dahi, geli. saya sendiri juga heran dengan saya yang sekarang lebih pilih baca komik Miiko ketimbang novel-novel Boy Candra atau Fiersa Besari.

buku romansa terakhir yang saya baca milik Brian Khrisna 'The Book of Almost' dan ngga selesai. Tapi kalau yang ini, saya ngga tahu, tidak selesai karena saya cringe bacanya atau memang ngga sanggup menyelesaikannya. Yang satu ini sedikit lain, saya punya kekaguman tersediri dengan Brian Khrisna. dia punya kemampuan membuat tulisannya indah tapi tetap terasa nyata. terutama, buku ini semua isinya tentang pengalaman terluka, cara Brian yang apik meminjamkan panca indra kepada pembacanya membuat saya seolah hidup sebagai Brian dan merasakan luka itu nyata disetiap sajak di sana. dibelakang itu, saya baca buku 'The Book of Almost' juga sehabis 'experience of almost' saya sendiri.

saya jadi lebih rajin baca tulisan Windy Ariestanty yang notabene adalah narasi perjalanan. membuat saya bahagia dan memberikan efek seolah-olah saya ikut berjalan-jalan. jadi punya pikiran lebih luas, yang kemudian membuat saya seolah tidak tertarik lagi dengan dunia sastra. saya benar-benar tidak menyentuh blog, tumblr, atau media tulis saya lainnya yang biasanya tempat mencurahkan sekedar sisi melankolis saya.
sebenarnya, saya masih menulis sesekali, hasrat saya mengeluarkan keresahan-keresahan dengan puisi dan sajak masih disana, walaupun saya merasakan gaya tulisan saya sekarang sedikit berbeda. yang paling berubah, saat ini saya jauh lebih selektif, mana yang sebaiknya di publish mana yang tidak, terlalu selektif malah, yang akhirnya membuat semua yang saya tulis berujung di file draft. seperti itu, terus berulang.

saya mulai masuk pada usia lebih awas terhadap apa yang saya lakukan. lebih memilih hal-hal sederhana dan efisien. begitu pula dalam hal menulis, ketimbang kalimat mengeluh (menye menye kalau kata saya), sekarang lebih memilih menulis dan membaca hal-hal yang bikin saya bahagia dan (lebih bagus) kalau bisa memberikan manfaat. saya jadi banyak memikirkan tentang diri sendiri, apa yang sebenarnya saya ingin gapai, apa yang sudah saya capai selama ini, ternyata selama ini saya belum cukup mengenal diri sendiri.

tapi apa yang membuat saya kehilangan sense menulis?

berbulan-bulan saya mengalaminya. seingat saya, dulu saya (lumayan) terkenal karena sajak-sajak di sosial media hasil postingan saya, tapi sekarang baru menulis kata 'aku' bahu saya sudah bergidik geli. lucu memang, tapi rasanya juga tidak sehat. sedikit banyak saya merasa 'kehilangan' kemampuan. jadi saya mensiasati diri sendiri dengan membaca sajak dan puisi dalam bahasa inggris, favorit saya adalah puisi-puisi milik Lang Leave dan R.H Shin. cukup bekerja, ternyata saya masih cinta dengan seni sastra.

hari ini, setelah selesai membaca buku Gita Savitri ada hal yang menyentil saya. setelah saya ingat-ingat, yang saya lakukan selama ini belum sepenuhnya menulis. saya lebih sering menjadikan tulisan sebagai pelampiasan. saya membiarkan perasaan memonopoli tulisan saya. Naksir dengan si A, sakit hati dengan si B, atau rindu dengan C. hanya ketika saya merasakan hal-hal seperti itu saya kemudian menulis. dalam dunia menulis tentu itu bukan suatu hal yang tidak dibenarkan. ide bisa datang dari mana saja, bukan? toh banyak penulis-penulis yang terkenal dari hasil curhat pengalaman pribadinya. iya, tapi tidak dengan saya.

Penulis yang merdeka adalah penulis yang bisa menulis dalam situasi apapun, persaan seperti apapun, sesibuk apapun.


itu yang dikatakan Gita Savitri dibukunya. saya jadi teringat, J.K Rowling bahkan menulis  beberapa naskah Harry Potter di dalam bathub sambil mandi, Paulo Coelho kebanyakan menyelesaikan bukunya dalam kereta saat perjalanan, Barbara Kingsolver menulis buku pertamanya saat baru pulang dari rumah sakit sehabis melahirkan, dan menyelesaikannya ditengah aktivitas sebagai ibu muda. selama ini saya sama sekali belum menjadi penulis yang merdeka. saya menulis sebagai bentuk teriakan agar orang-orang tahu perasaan saya, atau lebih parah, saya menulis dengan harapan orang yang saya tulis membaca tulisan saya.

dan ketika saya masuk ke usia dimana kewarasan sedikit demi sedikit mengikis ego, saya merasa mulai kehilangan ide karena satu persatu drama yang saya buat sendiri mulai saya tamatkan. itulah penyebabnya.

saya meyakini bahwa saya harus menikmati tahap demi tahap quarter life crisis yang saya alami, tanpa harus merasa kehabisan waktu. toh, hidup ini bukan ajang kompetisi. sejak kecil saya bukan orang yang berambisi dengan predikat juara, disamping karena bawaan introvert saya yang tidak suka menjadi sorotan perhatian, juga saya rasa setiap orang boleh punya cara sendiri untuk memaknai kehidupan.

saya pinjam kata-kata penulis favorit saya: saya ingin menjadikan menulis sebagai sebuah ruang temu. saya percaya ada hal-hal yang datang kepada kita untuk mengingatkan soal nilai-nilai yang kita yakini. saya membuat blog untuk belajar menulis, untuk memperpanjang ingatan saya, juga untuk mengingatkan saya soal kesenangan selagi menulis.

blog adalah ruang temu yang saya ciptakan untuk diri saya sendiri. saya izinkan yang lain melongok, melihat saya berproses dan bergumul dengan kedirian saya. saya menulis apa yang saya gelisahkan, juga apa yang saya sukai. ini ruang temu yang terbuka. kunjungi saya sewaktu-waktu bila kalian ingin, tanpa ada sisipan, sebagaimana seorang kawan (kurang) akrab datang tanpa saya mencurigai ia sedang melebarkan jaring mlm-nya.

Selasa, 07 Agustus 2018

Kutub Kembar

kita pasti selalu memiliki teman, yang sangking akrabnya sudah seperti dua kutub magnet kembar; tolak menolak


“jar, lo dimana?” suaraku tersenggal. “di warnet, ney. Kenapa?”

Fajar satu-satuya yang mengangkat panggilanku diantara tiga yang lain. 

Malam itu hampir pukul sepuluh, angin di luar Gedung Rumah Sakit lumayan deras. Aku lima belas tahun, Fajar enam belas. Tidak perlu bilang dua kali, Fajar datang dengan motor Supra X kebanggaanya seperti dikejar setan. Rambutnya yang kribo mengembang begitu helm dilepaskan. Menghampiriku yang celingak-celinguk. Isi kepalaku cuma ada ruang ICU.

“Sori ya, jar. Cuma lo yang ngangkat telpon”. Ucapku dengan nada menyesal sungguhan.

“selow si brut- (panggilan akrab kami), kaya sama siapa aja” kau bilang waktu itu.

“bawanya pelan aja, brut” ucapku santai, kali ini aku bohong. Aku tidak ingin fajar dikejar perasaan panik.

“iya, brut” katanya, juga berbohong, Ingin membuatku merasa tenang.

Aku mantap duduk di atas motornya, hanya satu detik kemudian motornya melesat hingga 110km/jam. Tidak ada satupun dari kami yang tidak panik malam itu. Malam itu aku lima belas tahun, Fajar enam belas. Membelah jalan raya, hampir menabrak truk kuning yang parkir di bahu jalan. Menempuh belasan kilometer menuju rumahku hanya untuk menghidupkan lampu dan mengunci pintu gerbang. Kemudian kembali mengantarku ke Rumah Sakit. 

Tidak sampai dua puluh menit, kami sudah sampai lagi di Rumah Sakit. Kami berjalan cepat sambil membawa dua gembolan, yang satu isi pakaian yang satu selimut.

“makasi ya brut!” ucapku lega. 

Setengah sebelas lewat sudah, kusuruh Fajar langsung pulang kerumahnya. Besok harus kutraktir si Fajar di kantin Bi Yuli, ucapku dalam batin. Besoknya, aku tidak mentraktir Fajar. Aku bukan lupa, apalagi berbohong. Aku tidak masuk sekolah.

Malam itu, tepat setelah berbalik badan melambaikan tangan pada Fajar, Ayah sudah menunggu, Raut wajahnya cemas tapi juga seperti orang yang ikhlas

“Nenek sudah ngga ada, mba” rasanya desingan peluru melintas di samping telingaku.

Nyawaku masih tertinggal di atas laju pesat motor Fajar dengan perasaan semangat dan tidak sabar.. karna malam itu kupikir akhirnya aku berhasil mematahkan alasan Ayah untuk pulang dan menginap di rumah sakit menemani nenek yang sejak kemarin malam dipindah ke  ICU setelah tiba-tiba dua hari tidak siuman. Yang pada akhirnya, berkat bantuan Fajar, aku benar menemani nenekku malam itu. Menemani jasadnya untuk terakhir kali.

“Ikhlas, ney. Allah lebih sayang nenek lo” begitu Fajar balas pesanku malam itu.

September 2011. Usiaku lima belas tahun, Fajar enam belas. Aku merasakan Fajar sudah paham memilah mana yang baik untuk dibicarakan mana yang tidak sejak Ia memilih untuk tidak lagi meledekku dengan “cucu nenek, kecup, kecup, kecup” seperti Patrick kalau sedang meledek Spongebob setiap kali aku tidak ikut main dengan teman-teman di hari Minggu, demi menjaga perasaan kawannya.

Tujuh tahun lalu, Saat usiaku baru lima belas tahun, Fajar enam belas. Nalarku mulai belajar bahwa tuhan juga memberikan makhluknya rejeki berupa kawan yang baik.

Hari ini, 7 Agustus 2018, Fajar dua puluh tiga tahun aku dua puluh dua. Dari 18429012 bantuanmu ini yang paling depan di barisan memoriku. masih kau ingat momen ini, jar?

Walaupun sudah lewat satu minggu, tapi, Selamat Ulang Tahun, Jar! Tadinya Aku berniat posting tulisan ini di Instagram tepat hari ulang tahunmu tapi karna rasanya terlalu cringe kalo dilihat banyak orang maka kuurungkan niatku, Haha. Jadilah setelah berhari-hari tertumpuk di dalam folder dokumen bersama draft tulisanku yang lain, kuputuskan untuk kuposting di blog pribadi karna pasti bahkan Kau sendiri pasti tidak baca-kalau tak kuberi tahu- apalagi orang lain.

Semoga segera kau jadi orang sukses, bandari kita semua makan di restoran macam Paciffic Place setiap minggu. Supaya jangan ke tempat Agung terus kalau kumpul, malu dengan Ibunya- makanannya kita yang habiskan. Kuberi kau satu saran supaya kolesterol tinggimu berkurang: jangan marah-marak kalau kita janjian dan kau datang paling duluan, salah kau sendiri, semacam baru kenal tiga minggu. Jangan bosan dulu kau kurepotkan, Belum dapat jodoh aku. Mhahahahaha




XOXO
ney